24 Apr 2012

Orang Dayak Jujur


21

Apr 2012

Orang Dayak Sangat Jujur

Ekspedisi Khatulistiwa Hanya 1 Peneliti Hutan
Radar Banjarmasin - Radar Banua
BARABAI – Tim Ekspedisi Khatulistiwa 2012 di Meratus Hulu Barabai kembali mencatat perilaku dan budaya komunitas Adat Dayak Meratus yang sangat dekat dengan alam. Bertani tugal, dan menjaga hutan, dalam istilah mereka fungsinya sebagai hutan keramat, adat, dan hutan lindung.
Budaya dan tradisi Dayak Meratus cukup berbeda dengan Dayak di luar Meratus. Jika dayak di Kalteng memiliki tradisi minum baram (minuman keras hasil permentasi, red), di Meratus kebiasaan itu tidak ditemukan. Begitu juga dengan Aruh Adat yang sangat jarang ditemui kebiasaan berkarasminan seperti main judi. Gaya hidup Dayak Meratus terdalam lebih original dan mengendepankan kemaslahan buat semua.
Dr Ir Abdul Haris Mustari, MSc, satu-satu peneliti senior Ekspedisi Khatulistiwa 2012 di Meratus mengaku terharu dengan kejujuran orang Dayak Meratus. Tingkat jujur dan kepercayaan menempati hal terpenting dari kehidupan mereka. Standar kejujuran itu sangat mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari dan mereka sangat percaya apa yang dibicarakan oleh lawan bicaranya.
“Artinya, kalau ada yang berbicara, kebanyakan mereka sangat yakin itu benar, karena mereka melihat dan menilai seperti dirinya sendiri yang tidak mungkin berdusta. Kalau mereka berjanji, bakal ditepati, begitu juga kalau kita yang berjanji, tentu mereka akan menagih janji. Kesimpulannya, jangan sembarangan mengumbar janji, mereka sangat ingat,” tukasnya Haris, panggilan Abdul Haris Mustari.
Mereka memiliki rasa sungkan dan penghargaan yang tinggi. Hal itu terungkap setelah tim selama satu pekan lebih singgah dan bermalam di Balai-Bali Desa Kundan seperti Miulan, mampir di Impun, Tamburasak, dan menginap Mancatur.  Semua masuk dalam kawasan gunung Tindihan. Saking hormatnya dengan benih padi, mereka sangat sungkan menyebut dan membandingkan antarbenih.
“Padahal, kami berhasil mencatat 19 varietas padi yang mereka tanam. Namun diantara mereka tidak mau membandingkan rasa antarsatu benih dengan benih yang lain. Semangat pemali cukup tinggi di Meratus,” tambahnya.
Peneliti juga berhasil meneliti cara hidup dan berladang yang masih dipegang teguh komunitas Dayak yang biasa disebut tugal. Mulai penghargaan dan penghormatan kepada roh padi, menanam padi dengan cara komunal namun saat memanen perindividu, cara menyemai padi, menyimpan hasil panen, sampai trik-trik agar tanaman sukses dan alasan memilih menanam di lereng-lereng gunung.
Menanam padi yang diselingi dengan pohon karet menjadi unik untuk menjaga kondisi tanah tetap subur setelah mereka berpindah alias ladang berpindah.
Menanam karet di sela-sela menanam padi diakuinya strategi jitu untuk menjaga tanah. ,Artinya, setelah padi itu panen dan mereka berpindah dan mencari lahan baru untuk bercocok tanam, karet itu seiring waktu makin membesar, biasanya, mereka kembali ke lahan yang sama antara 5-10 tahun lagi. Sedangkan karet sudah menghasilkan serta tanah tetap subur dan kuat mencengkram bumi.
“Tradisi lahan perpindah masih ditemui, namun sangat ketat syarat yang harus mereka penuhi,” ujarnya.
Penemuan lain yang cukup unik adalah telepon seluler. Rata-rata umbun atau kepala keluarga memiliki alat komunikasi yang satu ini. Namun mereka rata-rata tidak mengenal huruf dan angka. Tip dan trik menggunakan telepon dan mencari nama orang di buku telepon sampai sekarang belum dipahami.
”Kami belum mengetahui cara mereka menemukan nama orang di HP, saat ini Tim Komsos mengajari mereka membaca sambil memahami cara mereka menggunakan hp,” terang Haris agak heran.
Kejadian alam yang paling nampak saat mendaki puncak gunung Tindihan adalah pohon-pohon besar layu akibat disergap petir. Puncak gunung itu tidak pernah diganggu gugat dengan alasan kawasan hutan keramat.
Kendati tidak pernah disentuh, puncak gunung itu pernah terbakar medio 1997 silam akibat elnino. Cirinya terlihat dari banyaknya tumbuhan yang jadi vioner seperti semak-semak,  contohnya tumbuhan Haredong dan Makarangga.
“Kawasan itu pernah terbuka yang ditandai dua tumbuhan tersebut, namun seiring waktu, kembali rimbun,” katanya sembari mengatakan, tradisi berburu orang dayak yang saat ini tetap mengincar Payau, Kijang, Kanal dan Napu (sejenis kijang,red).
Wadan SubKorwil 8 Mayor Inf Ardian Triwasana menjelaskan, tim penjelajah pertama masih bertahan di Balai Mancatur, sedangkan tim peneliti ditarik pulang untuk selanjutnya berangkat lagi ke Juhu, Batang Alai Timur.  Rencananya, mereka diantar dulu menggunakan kendaraan sampai di Hinas Kiri.
Dia mengakui, tim ekspedisi di Barabai hanya didampingi satu orang ahli dari Fakultas Kehutanan, IPB, sedangkan tim masih kesulitan menemukan ahli-ahli yang lain.
”Kami kesulitan mencari peneliti yang spesifik di Banua, seperti Geologi, kami tidak menemukan ahlinya dari Unlam,” kata Ardian.
Dari catatan Radar Banjarmasin, untuk menaklukan Juhu, tim harus bekerja keras, hitungan komunitas Dayak yang biasa berjalan kaki, untuk sampai ke juhu harus menempuh jalan kaki dari Kiyo – puncak Gunung Panitiranggang (1-2 jam), dilanjutkan ke Datar Alai (2-3 jam), terus ke Aing Muhut (2-3 jam), dilanjutkan ke puncak gunung Kilai (3-4 jam), terakhir untuk sampai ke Juhu kembali membutuhkan waktu 2-3 jam.
“Waktu tempuh itu bisa semakin lama kalau yang tidak biasa ke hutan dan gunung. Ke sana biasanya harus menggunakan penunjuk jalan warga setempat karena sangat terpencil dan masuk hutan lindung. Seingat saya, membutuhkan waktu lima hari, 2 hari 2 malam berjalan dan menginap di hutan, singgah sehari semalam di Desa Juhu, pulangnya juga dua hari,” tukas Ijon, warga yang pernah menghitung turun naiknya salah satu rombongan yang pernah naik ke Juhu.
Sedangkan tim pertama hanya memutar dan meneliti di gunung Tindihan yang masih masuk Desa Kundan. Desa ini memiliki 11 balai yang tersebar di penjuru terdalam hutan yaitu Balai Bangkaon, Biang, Miulan, Pantai kaba, Bindang (Balai Lokasi), Impun, Tamburasak, Mancatur, Kumuh 2, Kumuh 1, Ambih, dan Pantai Binuang.(amt)

24 Okt 2011

10 Budaya Dayak Meratus Terancam Punah


BANJARMASINPOST.CO.ID, PARINGIN -Sedikitnya sepuluh macam budaya masyarakat adat Dayak Meratus, khususnya di wilayah Balai Gadang dan Balai Limbur di Kecamatan Hampang, Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Selatan, terancam hilang dan punah.
    
Menurut Wakil Koordinator Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel Juliade saat ditemui di Paringin, Ibu Kota Balangan, Senin, hal tersebut diketahui berdasarkan hasil inventarisasi yang telah mereka lakukan.
     
"Sejak 15 Mei - 30 Mei lalu kami melakukan inventariasasi keanekaragaman hayati dan kaitannya dengan kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus di kedua Balai tersebut dan diketahui sedikitnya sepuluh macam kebudayaan mereka terancam punah," ujarnya.
     
Kegiatan inventarisasi dilakukan oleh AMAN Kalsel bekerja sama dengan Yayasan Kehati Jakarta guna mengetahui kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus di kedua balai tersebut pada sepuluh tahun yang lalu dan sekarang.
     
Hasil inventarisasi itu, ujarnya, dituangkan dalam bentuk buku yang saat ini masih dalam proses pengerjaan, memuat Tabel Biodiversity tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat adat Dayak Meratus di Balai Gadang dan Balai Limbur.
     
"Tabel Biodiversity memuat tentang Makanan Karbohidrat yang terdiri dari buah-buahan, sayuran dan hewan buruan sebagai bahan makanan, budaya, pengembangan ekonomi, energi, tumbuhan obat, bahan rumah tangga, lingkungan dan sandang atau pakaian," katanya.
     
Semua aspek kehidupan yang termuat dalam Tabel Biodiversity itu disajikan dengan perbandingan antara sepuluh tahun yang lalu dengan keadaan sekarang.
     
Berdasarkan hasil inventarisasi itulah, beberapa kebudayaan berupa permainan tradisional Dayak Meratus seperti balogo, babintih dan gasing kini sudah tidak dimainkan lagi.
     
Selain itu, kesenian tradisional Dayak Meratus seperti tampihikan, kuriding, radab, gunggut, baandi-andi, batutur dan serunai juga tidak dimainkan lagi.
     
"Minat generasi muda Dayak Meratus terhadap kebudayaan itu sudah sangat kurang. Permainan dan seni itu hanya diketahui oleh kaum tua saja sehingga keberadaannya kini terancam punah," tambahnya.
     
Kurangnya minat generasi muda Dayak Meratus dalam mempelajari dan melestarikan budaya setempat, dipandang sebagai akibat negatif dari tekhnologi.
     
Perkembangan tekhnologi membuat generasi muda Dayak Meratus memandang budaya tradisional sebagai sesuatu yang kuno sehingga mereka enggan untuk melestarikannya.
     
Kondisi tersebut katanya, bila tidak segera diatasi akan semakin membuat budaya tradisional Dayak Meratus hilang dan mengalami kepunahan.
     
"Perlu adanya pemahaman, penguatan dan perubahan pola pikir di kalangan generasi muda Dayak Meratus tentang arti pentingnya menjaga dan melestarikan kebudayaan mereka," katanya.
     
Penting untuk ditanamkan bahwa bila mereka menginginkan pengakuan dan dihormati maka harus dimulai dari diri mereka sendiri agar bisa mengakui dan menghormati adat istiadat serta budaya yang dimiliki.
     
Untuk itu perlu adanya kepedulian dan keterlibatan semua pihak, seperti para tetuha adat, pihak swasta seperti LSM dan lembaga adat serta pemerintah melalui pendidikan di sekolah, demikian Juliade.
red: Eka DSumber: ant

20 Okt 2010

Lampau

Kehidupan Suku Dayak Meratus sangat erat sekali dengan padi. Padi bagi mereka bukan hanya sekedar untuk makan, tapi sesuatu yang sangat di hormati dan ini mempunyai legenda tersediri yang menurut Radam (2001), padi diciptakan oleh Suwana (penguasa dunia) dalam periode penciptaan yang sama. Padi diciptakan pada hari ketiga setelah hari pertama diciptakan manusia dan wasi (besi) pada hari kedua, sehingga padi diyakini sebagai tumbuhan langit yang sengaja diusahakan di tanam di bumi. Begitu penting dan sakralnya kedudukan padi dalam masyarakat Dayak, menghasilkan suatu budaya bercocok tanam padi yang unik, bukan hanya sekedar bagian dari sitem ekonomi tradisional tetapi terlebih-lebih merupakan dasar berpijak kehidupan religius (Radam, 2001). 




                                                              Lulung Yang baru dibuat




                                                         Lulung yang baru diisi padi

                                                       Lulung yang sudah lama berisi padi
                                                 Lampau tempat menaruh lulung

Pola Pencarian pengobatan



 
Model Kepercayaan Kesehatan didasarkan pada tiga faktor yang penting: 1) kesiap-siagaan  individu untuk mempertimbangkan perubahan tingkah laku untuk menghindari penyakit atau untuk memperkecil resiko kesehatan; 2) keberadaan dan pemerataan kegiatan di lingkungan individu yang menginginkan  suatu perubahan; dan 3) perilaku diri mereka. Masing-Masing dari faktor ini dipengaruhi oleh suatu kesatuan  berhubungan antar kepribadian dan lingkungan dari individu, seperti halnya pengalaman masa lalu dengan pelayanan kesehatan dan penyedia sarana tersebut  (Dignan & Carr, 1992). Begitu juga persepsi sehat seseorang sangatlah dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, disamping sosio budaya (Sarwono, 1997).
Musadad, et.al (1998), perilaku pencarian kesehatan dapat dilihat dari gambaran perilaku pola pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh individu atau keluarga yang mencerminkan tingkat pengetahuan dan kepercayaan masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan yang ada. Pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ketersediaan sarana, waktu pelayanan, kemampuan ekonomi, pengalaman dan kecocokan serta pengetahuan dan pemanfaatan obat-obat tradisional (Antropologi, 2002).
Menurut keyakinan masyarakat Dayak penyakit yang diakibatkan roh-roh jahat yang disebut kapuhunan cara penyembuhannya dengan cara baharagu yang dilakukan seorang ahli pengobatan yang dinamakan balian dengan melalui sebuah upacara dan mantera. Sedangkan penyakit yang menurut balian akibat bibit penyakit cara pengobatan dengan obat akar-akaran, daun-daunan ( pilusur ) (Sam, 2000). Begitu juga  Nieuwenhuis (1994), menyatakan bahwa peran terpenting dalam pengobatan orang Dayak Bahau adalah pembacaan mantera; pengusiran roh baik ditolong oleh para dayung. Disamping itu juga mengembangkan sistem larangan makanan diet yang rumit yang diterapkan pada setiap penyakit. Mereka berusaha memerangi penyakit dengan melarang menyantap makanan tertentu, mandi dan sebagainya.
Tidak jauh berbeda dengan Kampung Naga, untuk mengobati penyakit  umumnya menggunakan kombinasi antara pengobatan tradisional dan pengobatan modern (medis). Dalam hal pencarian pengobatan, khususnya pada pertolongan pertama ketika sakit, sebagian besar masyarakat pergi ke “tukang nyampe” (berarti orang yang suka memberi jampi/do’a). Tukang nyampe akan menentukan jenis penyakit ang diderita serta mengobatinya dengan memberikan air putih yang telah diberi jampi-jampi (Musadad, 1997) 










18 Okt 2010

Aruh Ganal/Bawanang

Masyarakat Dayak dalam kehidupannya sarat dengan berbagai upacara adat, hampir sepanjang tahun mereka lewati dengan upacara. Upacara adat merupakan manifestasi dari rasa syukur dan ketidakberdayaan mereka menghadapi berbagai tantangan da-lam kehidupan tanpa bantuan para dewa dan leluhur. Semua upacara yang dilakukan hampir seluruhnya terkait dengan usaha perladangan atau manugal.
Upacara dalam bidang pertanian yang mendominasi dalam kehidupan warga Dayak Papagaran khususnya, dan seluruh Masyarakat Dayak di kecamatan Hantakan. Upacara yang dilaksanakan pada saat padi mengurai disebut Upacara Basambu Umang/tolak bala, dan upacara setelah panen yang dinamakan bawanang sebanyak dua kali. Upacara  dilaksanakan di balai selama 4 - 8 hari. Upacara tersebut kadang ditambah dengan nadhar antara   3 – 5  tahun sekali, dengan persembahan hewan ternak babi.
Kegiatan ritual ini diikuti oleh semua warga balai yang diam di balai, dan yang berada di luar balai/rumah. Selama upacara berlangsung, seluruh anggota keluarga tinggal di balai. Hanya sekali-sekali  menjenguk rumahnya apabila sangat perlu, biasanya rumah ditinggalkan kosong selama upacara.
 Suku Dayak juga melakukan penyembuhan penyakit dengan upacara tandik atau baharagu. Upacara tandik ini dilakukan oleh balian dengan membaca mantera sambil menari-nari mengelilingi penderita. Tetapi tidak semua penyakit dapat disembuhkan dengan upacara tandik. Hanya penyakit yang disebabkan oleh roh-roh jahat atau yang disebut dengan uyuh yang dapat dilakukan dengan upacara tersebut oleh balian.










14 Okt 2010

Balai/Rumah Adat



Untuk melaksanakan kegiatan relegius Suku Dayak Meratus membuat tempat yang di sebut dengan balai atau balai adat. Balai dibangun dari satu keluarga, kemudian beranak pinak dan terus mendiami dari waktu ke waktu. Secara alamiah, mereka yang hidup di balai sulit tepisahkan, terutama oleh faktor darah, adat, kepercayaan, mata pencaharian, dan faktor pendukung psikologis lainnya. Suatu ikatan yang kokoh membuat penghuni balai selalu betah walau keadaan yang bersahaja, selain itu tinggal di balai menjamin berlangsung hubungan-hubungan kekuasaan di kalangan masyarakat Dayak.  Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia; makna dari pekerjaan; karya dan amal perbuatan; persepsi mengenai waktu; hubungan manusia dengan alam sekitar; hubungan dengan sesama  (Widjono, 1998).
Diperkuat dengan pengalaman  Bamba (2001), bahwa budaya rumah panjang menjamin adanya akses komunikasi yang efektif dan kepemimpinan yang jelas, disamping itu pemimpin rumah panjang mempunyai akses terhadap aktivitas semua anggota komunitasnya termasuk apa yang mereka rasakan, inginkan, dan ekspresikan. Tetapi dengan adanya pembangunan rumah secara terpisah membuat mereka berubah dari masyarakat kolektif menjadi individual.
Kehidupan bermasyarakat terdapat pola 

Kecamatan Hantakan sebagian besar penduduknya berada di Pegunungan Meratus yang disebut Suku Dayak, mempunyai pola hunian utama yaitu: 1) permukiman dengan pola rumah tunggal yang menge-lompok berbentuk rumah panggung; 2) tinggal di balai-balai dengan ruangan terbuka menjadi satu dengan dapur (BKSN, 2001). Suku Dayak sebagian besar tinggal di balai atau sering pula disebut dengan nama balai adat,   tempat tinggal bersama  sekalian umbun. Bangunan berukur-an lebar 10 sampai 15 meter dan panjang 20 sampai 30 meter. Berdiri diatas tiang yang tingginya sekitar dua sampai tiga meter di atas permukaan tanah, ada sejumlah bilik pada sisi balai yang tiap bilik berukuran luas sekitar 4 m²  yang merupakan tempat tidur masing-masing umbun , yakni kedua orang tua, anak-anak yang masih kecil dan gadis yang belum bersuami. Bagian tengah balai diperuntukkan sebagai tempat upacara adat dan religi, antara bilik-bilik umbun dan ruang upacara terdapat tempat duduk-duduk, ruang tamu dan sekaligus bila malam hari menjadi tempat tidur bagi jejaka yang belum kawin (Radam, 2001).


                      Balai Adat Lokasi Papagaran

                                                       Balai Adat Kapusan Papagaran 

                                                                Balai Ambih Kundan

Bentuk perumahan dan permukiman sangat dipengaruhi oleh konsep dari masing-masing individu ataupun kelompok sesuai dengan kebu-tuhannya, seperti yang dikemukakan oleh Slamet (2002), bahwa setiap konsep ini akan mempengaruhi bentuk rumah apakah rumah dapat berfungsi untuk bernaung saja ataukah untuk istirahat total (jasmani, rohaniah dan sosial), untuk membesarkan anak, atau juga tempat belajar dan tempat berusaha. Konsep itu sendiri didefinisikan sebagai label konseptual yang diatributkan pada kejadian, peristiwa, dan contoh fenomena diskrit lainnya (Strauss & Corbin, 2003). Tetapi lebih diseder-hanakan oleh Lawang (2001), konsep yaitu yang menunjuk pada sesuatu, dapat dinyatakan dalam bentuk kata, nama, atau pernyataan simbol. Kata yang menunjuk pada sesuatu bisa berbentuk benda, berbentuk gerakan, dan berbentuk keadaan. 

13 Okt 2010

Suku Dayak Meratus




Dayak adalah sebutan kolektif terhadap sekitar 405 kelompok etnolinguistik yang mendiami pulau Borneo/Kalimantan. Mereka menamakan/dinamakan Iban, Kenyah, Kanaytn, Ma'anyan, Ngaju dan Ot Danum, Bidayuh, Simpang dan lain-lain. Menurut para peneliti, penamaan ini didasarkan kesamaan hukum adat, ritual, ritual kematian dan bahasa. Penamaan sub suku Dayak juga didasarkan pada letak geografis kawasan adat mereka (Djuweng, 2003).
Menurut King, et.al (cit. Djuweng, 2003), mereka disebut Dayak karena memiliki persamaan-persamaan bentuk fisik dan unsur-unsur budaya seperti rumah panjang, persamaan-persamaan linguistik, tradisi lisan, adat istiadat dan hukum adat, struktur sosial, bentuk senjata, dan pandangan mengenai jagat raya. Hal lain yang juga serupa adalah pola hubungan religius dengan tanah dan alam sekitarnya, pola pemanfaatan, pemilikan, dan ekstraksi sumber daya alam. Bagi orang Dayak tanah menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Dengan persamaan-persamaan itu, maka kata Dayak telah menjadi label etnisitas dan identitas budaya, sosial, ekonomi , politik dan religius bagi kelompok-kelompok etnik yang mendiami pulau Kalimantan. Orang Bukit meyakini kampung halaman mereka dijaga oleh Sisia Banua, yakni roh nenek moyang yang pertama kali mendirikan perkampungan disana, diyakini roh inilah yang memelihara air, tanah, kebun, hutan dimana bubuhan tinggal (Radam, 2001). 
Masyarakat suku terasing di Kalimantan masih merupakan sebuah komunitas/populasi yang menarik perhatian seiring dengan perkem-bangan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Karena mereka hidup di hutan-hutan Pegunungan Meratus dengan hidup secara berkelompok dan mempunyai adat istiadat yang unik dan khas. Masyarakat suku terasing seringkali diidentifikasikan dengan masyarakat yang masih hidup dengan rata-rata tingkat pendidikan, ekonomi dan kesehatan yang masih rendah. Suku terasing juga identik dengan kondisi yang sulit dijangkau baik secara geografi maupun kebudayaan. Mubyarto (1994), menyatakan istilah terbelakang ditandai dengan rendahnya kondisi kehidupan dan penghidupan mereka baik di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, sandang, pangan, pengetahuan, pekerjaan dan sebagainya.

                                                            Upacara   Adat


Propinsi Kalimantan Selatan memiliki komunitas adat terpencil sebanyak 5.724 KK yang terdiri dari tujuh Suku Dayak yaitu ; Bukit, Pitap, Bajau, Deah,  Lawangan, Manggalan dan Panakahan. Secara keselu-ruhan komunitas tersebut tersebar di 8 lokasi kabupaten seperti Tabel.1 dibawah ini :
Tabel.1. Komunitas Adat Terpencil Propinsi Kalimantan Selatan

No.

Kabupaten
Jumlah
KK
%
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Banjar
Tapin
H.S.S
H.S.U
H.S.T
Tabalong
Tanah Laut
Kota Baru
516
378
517
364
1269
478
384
1818
9,02
6,60
9,03
6,36
22,17
8,35
6,71
31,76
J u m l a h
5724
100,00
Sumber : BKSN (2001).

Dari delapan kabupaten, Kabupaten Hulu Sungai Tengah merupakan salah satu kabupaten dengan komunitas adat dayak terpencil terbanyak, yaitu 22,17% dari seluruh komunitas. Sebagian besar komunitas adat terpencil tersebut bertempat tinggal tersebar di sekitar lereng pegunungan Meratus, sehingga lebih umum disebut dengan nama Suku Dayak Meratus.

                               Salah satu keluarga Dayak Meratus sedang bersama menuju ladang mereka                  


Penduduk Suku Dayak yang tinggal di hutan-hutan memiliki kondisi, kebiasaan dan tradisi yang khas. Salah satu aspek yang menonjol dari kehidupan Suku Dayak di sini bisa dilihat dari pola huniannya.  Hunian Suku Dayak memiliki dua pola utama, yaitu : 1)  permukiman dengan pola rumah tunggal yang mengelompok berbentuk rumah panggung; 2) tinggal di balai-balai dengan tata ruang seragam, yaitu kamar dan dapur, sedangkan untuk menerima tamu mereka menggunakan ruangan tengah yang luas. Ruang tersebut merupakan ruang serba guna baik untuk pertemuan dan acara-acara ritual. Jarak antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain sekitar 2 sampai 3 km (BKSN, 2001). 


Kehidupan bermasyarakat terdapat pola kepemimpinan tradisional dengan struktur yang ada dalam masyarakat Dayak Meratus. Secara sederhana terdiri dari tetuha adat yang kadang merangkap sebagai kepala balai, para balian dan kelompok masyarakat biasa. Peran mereka berbeda misalnya, tetuha adat bertugas menjaga aturan adat agar tetap menjadi panutan atau hukum yang dihormati oleh masyarakat. Kepala balai berfungsi dalam menjalankan kegiatan di balai, memimpin musyawarah atau kegiatan kemasyarakatan lainnya. Balian bertanggung jawab terhadap kesehatan baik perorangan maupun lingkungan tempat tinggal (Sam, 2000). 

Orang Dayak Jujur

21 Apr 2012 Orang Dayak Sangat Jujur Ekspedisi Khatulistiwa Hanya 1 Peneliti Hutan Radar Banjarmasin - Radar Banua BARABAI – T...