20 Okt 2010

Lampau

Kehidupan Suku Dayak Meratus sangat erat sekali dengan padi. Padi bagi mereka bukan hanya sekedar untuk makan, tapi sesuatu yang sangat di hormati dan ini mempunyai legenda tersediri yang menurut Radam (2001), padi diciptakan oleh Suwana (penguasa dunia) dalam periode penciptaan yang sama. Padi diciptakan pada hari ketiga setelah hari pertama diciptakan manusia dan wasi (besi) pada hari kedua, sehingga padi diyakini sebagai tumbuhan langit yang sengaja diusahakan di tanam di bumi. Begitu penting dan sakralnya kedudukan padi dalam masyarakat Dayak, menghasilkan suatu budaya bercocok tanam padi yang unik, bukan hanya sekedar bagian dari sitem ekonomi tradisional tetapi terlebih-lebih merupakan dasar berpijak kehidupan religius (Radam, 2001). 




                                                              Lulung Yang baru dibuat




                                                         Lulung yang baru diisi padi

                                                       Lulung yang sudah lama berisi padi
                                                 Lampau tempat menaruh lulung

Pola Pencarian pengobatan



 
Model Kepercayaan Kesehatan didasarkan pada tiga faktor yang penting: 1) kesiap-siagaan  individu untuk mempertimbangkan perubahan tingkah laku untuk menghindari penyakit atau untuk memperkecil resiko kesehatan; 2) keberadaan dan pemerataan kegiatan di lingkungan individu yang menginginkan  suatu perubahan; dan 3) perilaku diri mereka. Masing-Masing dari faktor ini dipengaruhi oleh suatu kesatuan  berhubungan antar kepribadian dan lingkungan dari individu, seperti halnya pengalaman masa lalu dengan pelayanan kesehatan dan penyedia sarana tersebut  (Dignan & Carr, 1992). Begitu juga persepsi sehat seseorang sangatlah dipengaruhi oleh pengalaman masa lalu, disamping sosio budaya (Sarwono, 1997).
Musadad, et.al (1998), perilaku pencarian kesehatan dapat dilihat dari gambaran perilaku pola pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh individu atau keluarga yang mencerminkan tingkat pengetahuan dan kepercayaan masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan yang ada. Pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain ketersediaan sarana, waktu pelayanan, kemampuan ekonomi, pengalaman dan kecocokan serta pengetahuan dan pemanfaatan obat-obat tradisional (Antropologi, 2002).
Menurut keyakinan masyarakat Dayak penyakit yang diakibatkan roh-roh jahat yang disebut kapuhunan cara penyembuhannya dengan cara baharagu yang dilakukan seorang ahli pengobatan yang dinamakan balian dengan melalui sebuah upacara dan mantera. Sedangkan penyakit yang menurut balian akibat bibit penyakit cara pengobatan dengan obat akar-akaran, daun-daunan ( pilusur ) (Sam, 2000). Begitu juga  Nieuwenhuis (1994), menyatakan bahwa peran terpenting dalam pengobatan orang Dayak Bahau adalah pembacaan mantera; pengusiran roh baik ditolong oleh para dayung. Disamping itu juga mengembangkan sistem larangan makanan diet yang rumit yang diterapkan pada setiap penyakit. Mereka berusaha memerangi penyakit dengan melarang menyantap makanan tertentu, mandi dan sebagainya.
Tidak jauh berbeda dengan Kampung Naga, untuk mengobati penyakit  umumnya menggunakan kombinasi antara pengobatan tradisional dan pengobatan modern (medis). Dalam hal pencarian pengobatan, khususnya pada pertolongan pertama ketika sakit, sebagian besar masyarakat pergi ke “tukang nyampe” (berarti orang yang suka memberi jampi/do’a). Tukang nyampe akan menentukan jenis penyakit ang diderita serta mengobatinya dengan memberikan air putih yang telah diberi jampi-jampi (Musadad, 1997) 










18 Okt 2010

Aruh Ganal/Bawanang

Masyarakat Dayak dalam kehidupannya sarat dengan berbagai upacara adat, hampir sepanjang tahun mereka lewati dengan upacara. Upacara adat merupakan manifestasi dari rasa syukur dan ketidakberdayaan mereka menghadapi berbagai tantangan da-lam kehidupan tanpa bantuan para dewa dan leluhur. Semua upacara yang dilakukan hampir seluruhnya terkait dengan usaha perladangan atau manugal.
Upacara dalam bidang pertanian yang mendominasi dalam kehidupan warga Dayak Papagaran khususnya, dan seluruh Masyarakat Dayak di kecamatan Hantakan. Upacara yang dilaksanakan pada saat padi mengurai disebut Upacara Basambu Umang/tolak bala, dan upacara setelah panen yang dinamakan bawanang sebanyak dua kali. Upacara  dilaksanakan di balai selama 4 - 8 hari. Upacara tersebut kadang ditambah dengan nadhar antara   3 – 5  tahun sekali, dengan persembahan hewan ternak babi.
Kegiatan ritual ini diikuti oleh semua warga balai yang diam di balai, dan yang berada di luar balai/rumah. Selama upacara berlangsung, seluruh anggota keluarga tinggal di balai. Hanya sekali-sekali  menjenguk rumahnya apabila sangat perlu, biasanya rumah ditinggalkan kosong selama upacara.
 Suku Dayak juga melakukan penyembuhan penyakit dengan upacara tandik atau baharagu. Upacara tandik ini dilakukan oleh balian dengan membaca mantera sambil menari-nari mengelilingi penderita. Tetapi tidak semua penyakit dapat disembuhkan dengan upacara tandik. Hanya penyakit yang disebabkan oleh roh-roh jahat atau yang disebut dengan uyuh yang dapat dilakukan dengan upacara tersebut oleh balian.










14 Okt 2010

Balai/Rumah Adat



Untuk melaksanakan kegiatan relegius Suku Dayak Meratus membuat tempat yang di sebut dengan balai atau balai adat. Balai dibangun dari satu keluarga, kemudian beranak pinak dan terus mendiami dari waktu ke waktu. Secara alamiah, mereka yang hidup di balai sulit tepisahkan, terutama oleh faktor darah, adat, kepercayaan, mata pencaharian, dan faktor pendukung psikologis lainnya. Suatu ikatan yang kokoh membuat penghuni balai selalu betah walau keadaan yang bersahaja, selain itu tinggal di balai menjamin berlangsung hubungan-hubungan kekuasaan di kalangan masyarakat Dayak.  Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia; makna dari pekerjaan; karya dan amal perbuatan; persepsi mengenai waktu; hubungan manusia dengan alam sekitar; hubungan dengan sesama  (Widjono, 1998).
Diperkuat dengan pengalaman  Bamba (2001), bahwa budaya rumah panjang menjamin adanya akses komunikasi yang efektif dan kepemimpinan yang jelas, disamping itu pemimpin rumah panjang mempunyai akses terhadap aktivitas semua anggota komunitasnya termasuk apa yang mereka rasakan, inginkan, dan ekspresikan. Tetapi dengan adanya pembangunan rumah secara terpisah membuat mereka berubah dari masyarakat kolektif menjadi individual.
Kehidupan bermasyarakat terdapat pola 

Kecamatan Hantakan sebagian besar penduduknya berada di Pegunungan Meratus yang disebut Suku Dayak, mempunyai pola hunian utama yaitu: 1) permukiman dengan pola rumah tunggal yang menge-lompok berbentuk rumah panggung; 2) tinggal di balai-balai dengan ruangan terbuka menjadi satu dengan dapur (BKSN, 2001). Suku Dayak sebagian besar tinggal di balai atau sering pula disebut dengan nama balai adat,   tempat tinggal bersama  sekalian umbun. Bangunan berukur-an lebar 10 sampai 15 meter dan panjang 20 sampai 30 meter. Berdiri diatas tiang yang tingginya sekitar dua sampai tiga meter di atas permukaan tanah, ada sejumlah bilik pada sisi balai yang tiap bilik berukuran luas sekitar 4 m²  yang merupakan tempat tidur masing-masing umbun , yakni kedua orang tua, anak-anak yang masih kecil dan gadis yang belum bersuami. Bagian tengah balai diperuntukkan sebagai tempat upacara adat dan religi, antara bilik-bilik umbun dan ruang upacara terdapat tempat duduk-duduk, ruang tamu dan sekaligus bila malam hari menjadi tempat tidur bagi jejaka yang belum kawin (Radam, 2001).


                      Balai Adat Lokasi Papagaran

                                                       Balai Adat Kapusan Papagaran 

                                                                Balai Ambih Kundan

Bentuk perumahan dan permukiman sangat dipengaruhi oleh konsep dari masing-masing individu ataupun kelompok sesuai dengan kebu-tuhannya, seperti yang dikemukakan oleh Slamet (2002), bahwa setiap konsep ini akan mempengaruhi bentuk rumah apakah rumah dapat berfungsi untuk bernaung saja ataukah untuk istirahat total (jasmani, rohaniah dan sosial), untuk membesarkan anak, atau juga tempat belajar dan tempat berusaha. Konsep itu sendiri didefinisikan sebagai label konseptual yang diatributkan pada kejadian, peristiwa, dan contoh fenomena diskrit lainnya (Strauss & Corbin, 2003). Tetapi lebih diseder-hanakan oleh Lawang (2001), konsep yaitu yang menunjuk pada sesuatu, dapat dinyatakan dalam bentuk kata, nama, atau pernyataan simbol. Kata yang menunjuk pada sesuatu bisa berbentuk benda, berbentuk gerakan, dan berbentuk keadaan. 

13 Okt 2010

Suku Dayak Meratus




Dayak adalah sebutan kolektif terhadap sekitar 405 kelompok etnolinguistik yang mendiami pulau Borneo/Kalimantan. Mereka menamakan/dinamakan Iban, Kenyah, Kanaytn, Ma'anyan, Ngaju dan Ot Danum, Bidayuh, Simpang dan lain-lain. Menurut para peneliti, penamaan ini didasarkan kesamaan hukum adat, ritual, ritual kematian dan bahasa. Penamaan sub suku Dayak juga didasarkan pada letak geografis kawasan adat mereka (Djuweng, 2003).
Menurut King, et.al (cit. Djuweng, 2003), mereka disebut Dayak karena memiliki persamaan-persamaan bentuk fisik dan unsur-unsur budaya seperti rumah panjang, persamaan-persamaan linguistik, tradisi lisan, adat istiadat dan hukum adat, struktur sosial, bentuk senjata, dan pandangan mengenai jagat raya. Hal lain yang juga serupa adalah pola hubungan religius dengan tanah dan alam sekitarnya, pola pemanfaatan, pemilikan, dan ekstraksi sumber daya alam. Bagi orang Dayak tanah menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan yang akan datang. Dengan persamaan-persamaan itu, maka kata Dayak telah menjadi label etnisitas dan identitas budaya, sosial, ekonomi , politik dan religius bagi kelompok-kelompok etnik yang mendiami pulau Kalimantan. Orang Bukit meyakini kampung halaman mereka dijaga oleh Sisia Banua, yakni roh nenek moyang yang pertama kali mendirikan perkampungan disana, diyakini roh inilah yang memelihara air, tanah, kebun, hutan dimana bubuhan tinggal (Radam, 2001). 
Masyarakat suku terasing di Kalimantan masih merupakan sebuah komunitas/populasi yang menarik perhatian seiring dengan perkem-bangan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia. Karena mereka hidup di hutan-hutan Pegunungan Meratus dengan hidup secara berkelompok dan mempunyai adat istiadat yang unik dan khas. Masyarakat suku terasing seringkali diidentifikasikan dengan masyarakat yang masih hidup dengan rata-rata tingkat pendidikan, ekonomi dan kesehatan yang masih rendah. Suku terasing juga identik dengan kondisi yang sulit dijangkau baik secara geografi maupun kebudayaan. Mubyarto (1994), menyatakan istilah terbelakang ditandai dengan rendahnya kondisi kehidupan dan penghidupan mereka baik di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, sandang, pangan, pengetahuan, pekerjaan dan sebagainya.

                                                            Upacara   Adat


Propinsi Kalimantan Selatan memiliki komunitas adat terpencil sebanyak 5.724 KK yang terdiri dari tujuh Suku Dayak yaitu ; Bukit, Pitap, Bajau, Deah,  Lawangan, Manggalan dan Panakahan. Secara keselu-ruhan komunitas tersebut tersebar di 8 lokasi kabupaten seperti Tabel.1 dibawah ini :
Tabel.1. Komunitas Adat Terpencil Propinsi Kalimantan Selatan

No.

Kabupaten
Jumlah
KK
%
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Banjar
Tapin
H.S.S
H.S.U
H.S.T
Tabalong
Tanah Laut
Kota Baru
516
378
517
364
1269
478
384
1818
9,02
6,60
9,03
6,36
22,17
8,35
6,71
31,76
J u m l a h
5724
100,00
Sumber : BKSN (2001).

Dari delapan kabupaten, Kabupaten Hulu Sungai Tengah merupakan salah satu kabupaten dengan komunitas adat dayak terpencil terbanyak, yaitu 22,17% dari seluruh komunitas. Sebagian besar komunitas adat terpencil tersebut bertempat tinggal tersebar di sekitar lereng pegunungan Meratus, sehingga lebih umum disebut dengan nama Suku Dayak Meratus.

                               Salah satu keluarga Dayak Meratus sedang bersama menuju ladang mereka                  


Penduduk Suku Dayak yang tinggal di hutan-hutan memiliki kondisi, kebiasaan dan tradisi yang khas. Salah satu aspek yang menonjol dari kehidupan Suku Dayak di sini bisa dilihat dari pola huniannya.  Hunian Suku Dayak memiliki dua pola utama, yaitu : 1)  permukiman dengan pola rumah tunggal yang mengelompok berbentuk rumah panggung; 2) tinggal di balai-balai dengan tata ruang seragam, yaitu kamar dan dapur, sedangkan untuk menerima tamu mereka menggunakan ruangan tengah yang luas. Ruang tersebut merupakan ruang serba guna baik untuk pertemuan dan acara-acara ritual. Jarak antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain sekitar 2 sampai 3 km (BKSN, 2001). 


Kehidupan bermasyarakat terdapat pola kepemimpinan tradisional dengan struktur yang ada dalam masyarakat Dayak Meratus. Secara sederhana terdiri dari tetuha adat yang kadang merangkap sebagai kepala balai, para balian dan kelompok masyarakat biasa. Peran mereka berbeda misalnya, tetuha adat bertugas menjaga aturan adat agar tetap menjadi panutan atau hukum yang dihormati oleh masyarakat. Kepala balai berfungsi dalam menjalankan kegiatan di balai, memimpin musyawarah atau kegiatan kemasyarakatan lainnya. Balian bertanggung jawab terhadap kesehatan baik perorangan maupun lingkungan tempat tinggal (Sam, 2000). 

9 Okt 2010

Dangsanak

          Dangsanak berasal dari bahasa banjar yaitu saudara. Dangsanak biasanya digunakan untuk orang kedua tunggal (saudara yang lebih tua), sedangkan untuk saudara yang lebih muda disebut ading. Sebutan ini bukan hanya untuk saudara sekandung, tetapi digunakan juga untuk orang lain yang lebih dihormati.
       Bagi masyarakat Suku Dayak yang ada di Kalimantan Selatan, terutama Suku Dayak yang berada di Pegunungan Meratus. Yang terdiri dari bermacam anak suku, namun untuk lebih mudah saya menyebutnya Suku Dayak Meratus, penggunaan kata atau sebutan dangsanak ini sangat mendarah daging. Hampir setiap mereka bertemu dengan suku yang di luar Suku Dayak, mereka selalu menyebut atau memanggil kita sebagai dangsanak (saudara tua). Tidak peduli apakah kita lebih muda, apalagi lebih tua. 
          Sebutan ini bukan sebagai basa-basi, tetapi benar-benar diemplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita berkunjung ke komunitas mereka, sambutan hangat akan selalu kita dapatkan. Mereka begitu gembira dengan segala keluguannya menerima kita dengan santun sebagai tamu atau  sebagai saudara. Segala macam makanan yang mereka punya, mereka suguhkan kepada kita. Meskipun secara fisik, penampilan mereka terlihat agak kasar. Mungkin selama ini orang memandang mereka sebagai suatu komunitas yang liar, dan termarginalkan.
         Karena itulah blog ini saya namakan Dangsanak, karena budaya ini patut kita hidupkan kembali ditengah masyarakat yang katanya sangat modern dan beradap ini. Saya mencoba memberikan informasi tentang kehidupan Komunitas Dayak Meratus, sebatas kemampuan yang saya miliki. Masukan, kritik, dan saran sangatlah saya harapkan bagi semua pihak yang peduli dengan Dangsanak kita yang ada di pegunungan meratus ini. Mari kita bantu mereka yang masih jauh tertinggal ini, meskipun Indonesia merdeka sudah 65 tahun. Mereka belum menikmati infrastruktur yang baik, seperti: jalan, perumahan yang layak, listrik, air bersih, pelayanan kesehatan, dan fasilitas lainnya.
                                                 Bersama putera penerus Balai Lokasi (Amir)
                                                       Foto bersama warga balai Lokasi
                                                                Menuju Balai Lokasi
                                                             Jalan menuju lokasi            
Paling tidak inilah secuil keinginan saya untuk ikut andil dalam upaya melestarikan kearifan-kearifan lokal yang ada di komunitas tersebut.

Orang Dayak Jujur

21 Apr 2012 Orang Dayak Sangat Jujur Ekspedisi Khatulistiwa Hanya 1 Peneliti Hutan Radar Banjarmasin - Radar Banua BARABAI – T...